Tentang Yoga Aji Saputra

Jumat, 15 November 2019

Bom Bunuh Diri, Mati Syahid atau Mati Konyol?


Lampung, Kader Kritis. -Terorisme mulai bangkit lagi di negeri ini. Hal ini disinyalir dari peristiwa bom bunuh diri yang dilakukan RMN di Markas Polisi Polrestabes Medan (13/11/2019). Kejadian ini terjadi sekitar pukul 08.45 WIB dan merenggut 6 orang korban. 4 orang anggota polisi, 1 pekerja harian lepas, dan 1 mahasiswa.

Berangkat dari peristiwa tersebut, PMII Rayon Mipa bersama Rayon FEB dan Fisip Universitas Lampung mengadakan diskusi bertemakan "Bom Bunuh Diri, Mati Syahid atau Mati Konyol".

Dari hasil diskusi mengidentifikasi motif dari aksi bom bunuh diri yakni :

1. Desakan ekonomi
Hal ini terkadang menuntut seseorang melakukan hal-hal yang bodoh seperti bunuh diri. Terlebih laki-laki yang sudah menikah, selain harus mencukupi hidupnya sendiri dia juga harus mencukupi kebutuhan keluarganya. Akibatnya dapat menjadikan seseorang depresi. Iming-iming uang menjadi angin surga yang dapat merubah rasional orang untik melakukan tindakan yang diluar akal sehat. contohnya seperti kejadian terorisme di Mumbai.

2. Ketidakpercayaan pada aparat penegak hukum.
Penurunan kepercayaan terhadap aparat penegak hukum dikarenakan pihak kepolisian kerap melakukan tindakan represif terhadap masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan kebencian dan menjadikan seseorang nekad untuk melakukan hal yang diluar nalar.

3. Tingkat keamanan polisi yang rendah.
Ketika disandingkan dengan terorisme Polisi merupakan lembaga yang menjadi incaran aksi teror karena fungsinya untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negara bersama TNI. Pun tingkat keamanan Polisi lebih rendah dibandingkan TNI.

4. Pengalihan fokus untuk aksi teror berikutnya.
Ketika mapolresta diserang kemungkinan besar kepolisian tingkat bawah akan ikut membantu mengamankan. Dari situ dapat dijadikan momen yang tepat untuk melakukan aksi lain diaerah yang melemah secara keamanan.

5. Indoktrinasi faham radikal di kampus.
Mahasiswa sebagai kaum intelektual menjadi lahan basah untuk menyebarkan faham radikalisme dan terorisme. Hal ini dikarenakan fase mahasiswa merupakan masa transisi dari remaja menuju dewasa. Dimana masa transisi tersebut merupakan masa pencarian jati diri. Ketika mahasiswa ingin mencari jati diri mahasiswa akan mencari seseorang yang kira-kira bisa dijadikan seorang mentor. Ketika mentornya salah, sedangkan mahasiswa tersebut sangat antusias dengan mentornya maka secara pemikiran akan terpengaruh. Alih-alih anak tersebut akan menjadi simpatisan, mereka bahkan bisa menjadi tangan kanan dan otomatis akan menyebarkan paham radikalisme secara masif. Dalam masa transisi juga mahasiswa banyak yang belum memiliki pendirian yang kuat. Maka mereka akan mudah untuk terjangkit radikalisme.

Radikalisme dan terorisme yang semakin marak terjadi harus segera ditangani dalam upaya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Beberapa solusi dalam menangkal radikalisme yaitu membangun rasa nasionalisme warga negara Indonesia melalui pemahaman sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Selain itu penanaman nilai keagamaan yang benar juga sangat penting, bahwa agama dan kebangsaan adalah dua hal yang tidak bersebrangan sehingga keduanya bisa berjalan beriringan seperti fatwa KH. Hasyim Asyari "Cinta tanah air adalah sebagian dari iman".
Upaya itu dapat dilakukan dari lingkup terkecil keluarga yakni melalui pengawasan orang tua, lingkup pendidikan dan lingkungan sekitar.

Di pihak pemerintah upaya yang harus dilakukan adalah dengan mengoptimalkan  peran BIN (Badan Intelegen Nasional) dalam menjalankan tugasnya bukan hanya di lapangan, melainkan media sosial yang juga mengambil peran besar tersebarnya paham radikalisme. Ketika suatu konten mengandung unsur radikalisme, maka pemerintah terkhusus BIN dan masyarakat harus bersinergis dalam melakukan pelaporan melalui website yang sudah di sediakan oleh pemerintah.

Penulis : Siti Habibah (PMII Fisip Unila), Kurnia Agung Firdaus (PMII Mipa Unila), Doni Julianto (PMII Feb Unila)

Penyunting : Yoga Aji Saputra